- Back to Home »
- Artikel »
- MENJADI PELAYAN ALLAH
Posted by : Unknown
Jumat, 13 Desember 2013
MENJADI
PELAYAN ALLAH
Kehidupan adalah jembatan penyeberangan yang akan mengantarkan kita
menuju tempat tujuan. Tak pernah ada yang tahu, siapapun itu --termasuk kita
yang setiap saat merasa paling benar, merasa paling berjasa, merasa paling
hebat, dan perasaan-perasaan lain yang memperlihatkan egoisnya diri kita dan
sesungguhnya sedang mengantarkan kita pada titik nadir diri ini-- apakah sampai
pada tujuan tersebut atau malah terpelanting di tengah jembatan penyeberangan
kehidupan yang sedang kita jalani ini? Padahal, jurang yang ada di bawah
jembatan yang sedang dilalui, sungguh tiada bertepi.
Saudaraku,
Pernahkah kita menyadari, bahwa teramat banyak perilaku kita yang
sesungguhnya sedang mengantarkan kita pada jurang yang tiada bertepi tersebut.
Tengoklah diri ini ketika tak satu pun kebenaran yang dapat kita serap dari
orang lain karena sikap kita yang merasa paling benar. Lihatlah juga ketika
diri ini berjalan menengadah ke langit yang begitu tinggi, sementara di bawah,
kiri, kanan dan belakang kita bersimpuh tubuh-tubuh lusuh, menengadah
mengharapkan penglihatan dan perhatian kita.
Perhatikan pula para pemimpin negeri ini yang diberikan amanah begitu
besar untuk melayani rakyatnya, agar sampai pada kemerdekaan hakiki yang
dicita-citakan, bukan kemerdekaan semu seperti saat ini. Pernahkan kita melihat
mereka seperti layaknya para pelayan yang senantiasa tertuntut untuk melayani
tuannya? Tidak! Tidak sama sekali. Mereka jauh lebih senang disebut sebagai
penguasa yang justru menuntut untuk dilayani rakyatnya bahkan lebih senang
menjadi pelayan negeri-negeri yang arogan. Tak ada apa pun yang mereka lakukan
kecuali hanya menjual nama rakyat bagi terpenuhinya segala ambisi mereka
memenangkan pertarungan kehidupan. Mereka tidak pernah menyadari, bahwa
kemenangan yang mereka kejar sesungguhnya merupakan pintu gerbang menuju
kekalahan dan kehinaan yang tiada akan pernah berakhir. Bagaimana tidak! Untuk
memenangkan pertarungan kehidupan, mereka tidak merasa malu menjual nama rakyat,
seakan-akan rakyat menginginkan apa yang mereka lakukan. Mereka tidak pernah
merasa malu saling menghujat, mencaci, menghina bahkan beradu fisik seperti
layaknya binatang aduan.
Tentu masih hangat juga dalam ingatan kita, saudara-saudara kita yang
mencoba mengadu nasib di negeri orang. Pelayanan yang mereka lakukan pada
tuannya malah berbuah pada penderitaan yang tiada akan pernah terlupakan selama
hidup mereka.
Tiada hal yang menyebabkan semua itu terjadi, kecuali berawal dari keinginan
terpuaskannya nafsu diri, kesombongan jasad dan hal-hal lain yang semuanya
menunjukkan betapa kita telah menjadi makhluk paling egois melebihi
'egoistis'nya Tuhan yang memang berhak untuk egois.
Saudaraku,
Mungkin kita semua setuju jika ada yang berpendapat, bahwa tak ada satu
pun ajaran etika atau agama yang membenarkan perilaku-perilaku kita seperti
yang tertulis di atas. Sebagai seorang muslim, tentu kita akan menghisab semua
itu dengan pegangan kita, Kitab Allah Yang Mulia (Al-Quran) sebagai pedoman dan
tuntunan bagi teraihnya kehidupan kita yang hakiki.
Ingatkah kita semua ketika Al-Quran mengungkapkan bahwa kebenaran
hanyalah milik dan datang dari Allah. Lalu, kekuatan seperti apa yang
menjadikan kita mengaku dan merasa sebagai orang yang paling benar dibanding
orang lain? Bukankah jika demikian kita telah memposisikan diri sejajar dengan
Yang Mahabenar? Tuhan yang berhak kita layani. Demi Allah, kita ini tidak lebih
daripada pelayan yang berkewajiban tunduk dan patuh pada satu-satunya Tuan
kita, Allah Subhanahu wata'aala.
Masih ingatkah pula ketika Allah Swt. mengungkapkan firman-Nya dalam
Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman! Janganlah sekumpulan orang
laki-laki merendahkan (menertawakan) kumpulan orang lain; boleh jadi (yang
ditertawakan itu) lebih baik dari mereka (yang menertawakan). Dan jangan pula
sekumpulan perempuan (merendahkan) kumpulan perempuan yang lain, boleh jadi
(yang direndahkan itu) lebih baik dari mereka. Dan janganlah kamu suka mencela
bangsamu dan janganlah memanggilkan dengan gelaran (yang mengandung
ejekan)…(QS. Al-Hujurat [49]:11). Dalam ayat lain, Allah Swt juga mengungkapkan
firman-Nya: "Sesungguhnya orang yang paling mulia di sisi Allah adalah
orang yang paling taqwa" (QS. [ ]: ).
Kedua ayat di atas menggambarkan kepada
kita bahwa kita semua adalah sama, tiada sekat-sekat yang membedakan bahwa
seseorang lebih mulia dibanding yang lainnya. Tiada yang bisa membuktikan bahwa
seorang tuan lebih mulia dibanding pelayannya. Tidak ada hal yang menunjukkan
bahwa seorang pemimpin lebih mulia dibanding rakyatnya. Tiada seorang pun yang
layak mengaku lebih baik daripada orang lain, karena boleh jadi ia lebih buruk
dalam pandangan Allah. Jika kita ingin melihat siapakah orang yang paling baik,
tengoklah orang-orang yang kesehariannya berusaha untuk memenuhi kehidupannya
dengan ketaqwaan kepada Allah Yang Mahaperkasa. Bukankah orang-orang yang taqwa
adalah orang-orang yang selalu melayani apapun yang diperintahkan oleh Tuannya
(Allah)? Bukankah ia juga orang yang senantiasa menghindar dari apapun yang
dilarang oleh Allah?. Pemimpin yang memenangkan pertarungan kehidupan yang
hakiki adalah pemimpin yang mampu menjadi pelayan rakyatnya untuk mendekat
kepada Allah, sehingga rakyatnya mampu menjadi komunitas manusia penuh
kemuliaan.
Saudaraku,
Jika ternyata seorang pelayan bisa lebih mulia dibanding kita dalam
pandangan Allah, kenapa kita tidak menjadi bagian dari para pelayan Allah
tersebut. Bukankah jaminan bagi para pelayan seperti ini adalah kesenangan
hidup yang hakiki dan tiada bertepi? Dan bukankah kehidupan seperti ini yang
kita cita-citakan selama ini? Wallahu a'lam.
(Sumber : Jurnal MQ Vol.2/No.1/Mei 2002)